Bicara DOB Papua, Peneliti LIPI : Faktanya Tidak Ada yang Menolak Secara Totalitas

oleh

Jakarta – Menanggapi adanya pro kontra dukungan terkait pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) yakni pemekaran Provinsi Induk Papua menjadi Provinsi Papua Pesisir Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah yang sudah lolos di DPR, Dr. Adriana Elisabeth, M. Soc, Sc mengatakan bahwa hal itu turunan perdebatan Otsus sebelumnya. Pemekaran itu telah dibahas di revisi Otsus.

“Kalau saya sendiri tidak mau terlibat dalam perdebatan itu. Terkait perdebatan Otsus semua pihak yang menolak dan menerima mereka semua punya alasan. Ada kepentingan politik, karena elit-elit politik Papua juga bermain terkait jatah politik dan ekonomi. Dan juga elit politik Jakarta juga sama,” tutur peneliti LIPI ini, hari ini.

Kalau bicara menerima, daerah relative menerima, seperti Papua Pesisir Selatan, kalau dihitung dari berbagai aspek sudah siap dimekarkan. Selain, selama ini alasan mereka merasa cenderung didiskriminasi Gubernur Papua, karena merasa perhatian pembangunan lebih ke Utara sebaliknya minim ke Selatan. Kalau memang siap harus dikaji lebih dalam, sejauh mana persiapan dan sebagainya. Termasuk persiapan penetapan ibukota Provinsi Papua Tengah, yang saat ini masih tarik menarik.

“Kalau menetapkan Timika sebagai ibukota, memang akses ekonomi dan infrastruktur sudah siap, namun kalau berpikir pemekaran dalam pemerataan ekonomi, sebaiknya ditetapkan di Nabire. Timika itu dekat Jaya Wijaya. Sedangkan Provinsi Pegunungan Tengah yang ibukota Wamena dan Provinsi Papua Pesisir Selatan ibukota Merauke relatif tidak ada tarik menarik. Kenapa penduduk Jaya Wijaya mendukung Timika karena faktor lebih dekat dari ke Nabire,” ujar lulusan S3 University of Wollongong, Australia.

Lebih jauh, kata Adriana, kalau dilihat dari suara yang menolak usulan pemekaran itu, disebabkan karena pengusulan dilakukan oleh Bupati (elit) terkait alasan ekonomi dan politik. Kalau mereka menolak harus diselidiki kenapa berbeda dan lihat alasan-alasannya. Demikian juga yang menerima, misalnya bagaimana pertimbangan kesiapan. Kalau ada pemekaran DOB yang baru kan ada percepatan akses.

“Ada saya dengar mewacanakan pemekaran, karena ada birokasi pusat boleh dipindah ke sana. Selalu ada wacana-wacana itu. Jadi tidak mau terjebak hanya dalam pro kontranya,” Adriana mengingatkan.

Melihat naskah akademik penentuan ibukota ada banyak alasan dan faktor. MRP juga menolak paling tidak seperti disampaikan Ketuanya. MRP harus dipandang sebagai representasi kultrual masyarakat meski suara MRP juga tidak bulat. Sebetulnya yang menolak secara totalitas tidak ada.

Catatan, pemekaran misalnya terkait kesiapan SDM yang akan duduk dibirokrasi seperti apa? Apakah pemekaran ini bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal? Sebab daerah baru itu biasa kesempatan buat migran (pendatang). Itu pemahaman umum yang terjadi.
Perlu juga diperhitungkan terkait konflik, pegunungan tengah yang menjadi daerah hot spot (konflik) selama ini. Jadi kalau ada menolak itu masuk akal, harus didijelaskan alasan pemekaran lebih detail sehingga bisa diterima dengan baik.

“Menurut saya tidak harus dimekarkan secara serentak. Yang paling siap Papua Pesisir Selatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah bilang sudah ada uangnya. Memang pemekaran harus memperhatikan infrastruktur dan akses,” paparnya.

Terkait Provinsi Papua Pegunungan Tengah karena ini daerah konflik besenjata, pemekaran sering diasumsikan bahwa nanti akan ada penambahan Kodam dan Polda baru sehingga dianggap ancaman, jadi kurang didukung. Sekarang saja penambahan aparat juga belum tuntas. Ini perlu diperhatikan dan dijelaskan dulu, apa saja keuntungan bagi daerah yang dimekarkan. Jadi bukan totali menolak konsiderationnya harus diperhatikan.

Keuntungan pemekaran sudah pasti besar. Karena itu, secara umum ini terkait pertarungan elit politik saja. Kalau masyarakat itu sederhana bagaimana baiknya saja. Tidak bermaksud underestimate, mostly bagi masyarakat kalau pemekaran akan menguntungkan, kenapa tidak.

“Saya kira ini konflik elit, terkait dua hal yaitu bicara jatah politik dan jatah ekonomi. Sesimpel itu saya lihat. Adakah elit memikiran kepentingan masyarakat?,” Adriana bertanya balik.

Menolak pemekaran itu sama dengan menolak UU Otsus No 2 Tahun 2021, yang sekarang sedang diuji di MK. Dr. Adriana kebetulan salah satu saksi ahli. Menurutnya ada 3 hal yang disampaikan dalam memutuskan persoalan Otsus dan pemekaran. Pertama proses itu penting, apalagi di daerah konflik. Proses yang tidak terbuka dan melibatkan masyarakat bisa dicurigai dan tidak represntatif. Kedua, soal representasi sendiri, siapa yang dilibatkan, Papua beragam, keberagaman Indonesia paling tinggi dan paling heterogen ada di Papua.

Yang menolak itu kebanyakan di pegunungan tengah dengan alasan mereka sudah terbiasa dan daerah konflik. Mereka kuatir pemekaran akan semakin membuat tidak kondusif daerahnya karena akan ada penambahan Kodam dan Polda. Ketiga, substansi harus diaphami. Kenapa harus sekarang, urgensinya apa? Itu tidak pernah dijelaskan dan disosialisasikan secara luas sehingga orang bertanya-tanya.

“Proses politik penting bicara substansi dan representasi. Saya memakai pendekatan konsep Negara kesejahteraan (State Walfare), pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.