JAKARTA – Aktivis Komunitas Siber Nusantara (KSN) Rahmat menyatakan, pandemi Covid-19 dan peristiwa politik seperti Pilkada, telah memicu munculnya berbagai ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) sehingga membuat dunia digital menjadi bising oleh sampah. Makanya, dibutuhkan peran media mainstream untuk membendung munculnya fenomena hoax dan hate speech tersebut.
“Situasi terakhir yang besar adalah pandemi dan Pilkada. Saat ini, ada dua gelombang besar yang berpotensi besar ditumpangi penggemar hoax dan hate speech,” kata Rahmat.
“Media mainstream punya peran penting disini untuk memerangi hal tersebut,” sebutnya.
Rahmat mengatakan, para penggemar hate speech dan hoax selalu memanfaatkan platform digital untuk tujuan yang buruk. Selain menyebarkan hate speech dan hoax di platform, para peggemar hoax dan hate speech juga menyebarkan konten-konten receh, yang tidak bermanfaat.
“Digital yang tadinya solusi tiba-tiba menjadi part of problem. Digital juga menjadi masalah. Dan tugas bersama semua pihak untuk mencari solusi. Selama 4 tahun usianya, dalam 10 bulan masa pandemi ini, ada tren hoax dan hate speech yang seringkali menumpang pada peristiwa-peristiwa besar. Kalau ada peristiwa politik Pemilu, tren hoax dan hate speech selalu naik. Kalau ada bencana alam, hoax juga naik. Ini selalu menumpang di peristiwa besar,” jelasnya.
Oleh karenanya, ujaran kebencian dan hoax harus diberantas secara tegas dan tanpa kecuali. Hal ini penting lantaran ujaran kebencian dan hoax, apalagi yang tersebar luas telah melanggar koridor dan norma hukum. Bahkan, menciptakan ketidaknyamanan di masyarakat dan institusi kenegaraan.
“Persoalannya bukan pada efektif tidaknya sikap tegas Polri dalam menangani ujaran kebencian dan hoax ini, tapi bagaimana penegakan hukum dilakukan secara tegas dan tanpa kecuali. Ujaran kebencian dan hoaks yang terviral ini sudah jelas melanggar koridor dan norma hukum, bahkan sudah tidak obyektif, tidak konstruktif, dilakukan secara kasar dan tidak sopan serta menciptakan ketidaknyamanan publik juga institusi kenegaraan, karena itu Negara harus hadir untuk menegakkan hukum,” kata Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji.
Indriyanto menyatakan, kehadiran Negara bagi penegakan hukum tidak bisa dipersepsikan sebagai tindakan represi. Negara, katanya, tetap menjamin kebebasan di alam demokrasi ini. Menurutnya, penegakan hukum dilakukan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan terhadap kebebasan.
“Karena kebebasan itu tidak absolut dan ada limitasi-limitasinya, yaitu larangan hate speech, penistaan, penghinaan, tindakan dan ucapan yang mengarah pada revolusi terhadap kekuasaan negara yang sah maupun simbol-simbol kenegaraan. Karena itu hindari kata perbuatan yang mengandung actual malice sebagai basis pemidanaan,” katanya