Apa Kabar Sepak Bola Sarung?

oleh

Kita masih ingat para pemain timnas Indonesia U-12 mencium tangan wasit sebelum laga Final Dunia Danone Nations Cup 2016 (AQDNC) di Prancis lalu. Aksi mereka begitu viral dan ramai diperbincangkan ketika wasit bingung dengan “akhlak” anak asuh Jaksen F Tiago. Meski gagal melawan Argentina di 16 besar turnamen itu, namun timnas U-12 tetap mendapatkan banyak pujian. Sebuah kultur kearifan lokal Indonesia.

Budaya cium tangan pemain sepak bola sebenarnya bukan hal baru. Aksi serupa pernah terjadi pada final Liga Santri Nusantara (LSN) 2016 antara tim Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Jember melawan Pesantren Al-Asyariah. Tim Nuris yang merupakan juara bertahan LSN 2015 mendapatkan perlawanan sengit. Ketika skor imbang 2-2, pemain Al-Asyariah bernama Aldo menekel pemain Nuris. Wasit menilai pelanggaran berat sehingga menghadiahkan kartu merah kepada Aldo. Namun wasit terkejut, Aldo mencium tangannya. Sang pengadil kemudian membalas dengan membelai kepalanya melalui tangan kirinya.

LSN merupakan ajang adu kemampuan skuat tim sepak bola dari pondok pesantren se-Indonesia. Sebanyak 192 pondok pesantren se-Indonesia ikut serta LSN. Kompetisi dengan pemain para santri dari berbagai pesantren yang tersebar di 10 provinsi se-Indonesia. Sebuah kompetisi yang bergulir di semua provinsi terbagi dalam beberapa regional ini inisiatif Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Pada turnamen ini ada aturan khusus etika selain peraturan permainan sepak bola pada umumnya. Sebelum kick off misalnya, satu per satu para pemain menyalami dan mencium tangan wasit dan asistennya.

Kultur santri sepak bola bukan hal yang asing. Apalagi di pondok pesantren terutama pesantren dengan label Salafiyah. Di sore hari, sebelum salat Asyar mereka berduyun-duyun berkumpul di lapangan samping pesantren. Jangan ditanya seberapa besar atau lebar lapangannya. Lima meter persegi pun jadi. Atau seukuran lapangan futsal dengan bentuk tak persegi panjang. Lapangan berbelok dengan siku 90 derajat atau letter L.

Jumlah pemainnya terkadang 15 lawan 15 orang. Atau kalau yang tidak mau bergantian bisa 40 orang turun di lapangan. Mereka mengenakan kostum, bawah sarung, atas hem dan kaus. Untuk beli bola, biasanya iuran dulu bagi yang ingin bermain. Bukan beli bola pompa namun cukup bola plastik. Tak jarang bola meletus saat rebutan dan disepak kaki beradu. Gawang ranting yang ditancapkan di kedua ujung lapangan. Jika kalah hukumannya copot baju atau kaus alias telanjang dada. Begitulah suasana sepak bola khas santri di pesantren tampak riuh dan meriah.

Semangat membara ketika berada di lapangan rumput hijau nan becek. Para pemain siap mengadang lawan. Sang kiper dengan balutan sarung agak melorot terbang memetik bola. Mereka bertabrakan dengan risiko kuku jempol kaki terkelupas dan berdarah. Di tengah pertandingan, tiba-tiba si Zaid berteriak kepada Fulan. “Saya hafalan Imriti dulu, ya, soalnya nanti setoran. Nanti main bola lagi,”. Atau “Wah, aku belum hapal wazan fa’ala yaf’ulu,” jawab Fulan.

 

sumber : https://opinion.idntimes.com/social/kambali-zutas/apa-kabar-sepak-bola-sarung-c1c2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.